Senin, 27 Oktober 2008

Cigarette Miscellanea

KESEHATAN :

Berikut adalah pemaparan ahli kimia tentang kandungan rokok :
Mungkin anda sudah tahu bahwa menghisap asap rokok orang lain di dekat anda lebih berbahaya bagi anda daripada bagi si perokok itu sendiri. Asap Utama adalah asap rokok yang terhisap langsung masuk ke paru-paru perokok lalu di hembuskan kembali. Asap Sampingan adalah asap rokok yang dihasilkan oleh ujung rokok yang terbakar. Masalahnya adalah, udara yang mengandung asap rokok, dan anda hisap, akan mengganggu kesehatan, karena asap rokok mengandung banyak zat-zat berbahaya, diantaranya :
1. TAR : Mengandung bahan kimia yang beracun, sebagainya merusak sel paru-paru dan meyebabkan kanker.
2. KARBON MONOKSIDA (CO) : Gas beracun yang dapat mengakibatkan berkurangnya kemampuan darah membawa oksigen.
3. NIKOTIN : Salah satu jenis obat perangsang yang dapat merusak jantung dan sirkulasi darah, nikotin membuat pemakainya kecanduan.
Bila anda berada di ruangan berasap rokok cukup lama,
maka

Rabu, 15 Oktober 2008

Pembukuan beban cukai dan PPN untuk industri rokok

Dalam melakukan analisa untuk sektor rokok, ada satu hal mendasar yang kadang-kadang terlupakan atau bisa juga walaupun tetap teringat namun diabaikan juga, yaitu adanya perbedaan metode pembukuan untuk beban cukai dan PPN atas penyerahan produk hasil tembakau di kalangan pabrikan rokok. Perbedaan tersebut, jika diabaikan, akan menyebabkan bias perhitungan yang kurang tepat, baik dalam melakukan analisa industri secara keseluruhan maupun komparasi antar pabrikan rokok. Contoh dari analisa industri secara keseluruhan adalah penghitungan berapa prosentase rata-rata di bawah HJE (Harga Jual Eceran) harga penyerahan dari pabrik rokok ke distributornya, penghitungan berapa besar tarif pemotongan PPh Pasal 22 atas Penghasilan Distributor Rokok yang seharusnya dikenakan, penghitungan tarif PPN efektif atas penyerahan produk-produk hasil tembakau yang seharusnya dikenakan, dan sebagainya. Contoh analisa komparasi antar pabrikan rokok misalnya komparasi suatu perusahaan dengan pesaingnya yang punya skala produksi atau pangsa pasar yang sebanding, komparasi rasio untuk penghitungan benchmark, dan sebagainya.

Berikut adalah simulasi sederhana dari laporan rugi laba perusahaan rokok :


Dari diagram di atas nampak adanya kecenderungan yang akan terjadi jika suatu pabrikan rokok mengikuti salah satu metode di atas. Misalnya pada pembukuan dengan versi A, pabrikan yang mengikuti metode ini akan cenderung memiliki rasio Gross Profit Margin yang rendah. Jadi dalam kondisi yang sama, pembandingan rasio-rasio yang terkait (misalnya growth dari penjualan, gross profit margin, dan operating income) secara head-to-head tanpa terlebih dahulu melakukan adjustment atas perbedaan metode pembukuan yang ada (misalnya antara Gudang Garam dengan Philip Morris) akan menjadi bias dan hasilnya pun tidak tepat.

Pola Pembayaran Cukai Perusahaan Rokok dari Sudut Pandang Pajak

Perusahaan rokok memiliki karakteristik yang unik yang disebabkan oleh dikenakannya cukai atas produk-produknya dengan alasan ‘membahayakan’ kesehatan. Bukti bahwa perusahaan rokok telah membayar cukai ini adalah adanya pita cukai yang ditempel di setiap kotak bungkus rokok.

Pabrik rokok berdasarkan perkiraan penjualannya di periode mendatang yang kemudian diterjemahkan menjadi perkiraan produksi biasanya melakukan pemesanan pita cukai (yang akan ditempel pada bungkus rokok) ke Ditjen Bea Cukai senilai perkiraan produksi tersebut. Jika pemesanan pita cukai dilakukan dengan ‘ngebon’, maka pelunasannya harus dilakukan dalam waktu 2 bulan (untuk SKM/SPM) atau 3 bulan (untuk SKT dan yang lainnya). Karena secara agregat proporsi SKM adalah kurang lebih 2/3 dari seluruh produksi produk hasil tembakau, maka boleh dibilang hampir seluruh pesanan cukai akan jatuh tempo dalam waktu 2 bulan.

Kondisi seperti di atas akan mulai menjadi lebih rumit saat peraturan perpajakan menyatakan bahwa pabrikan rokok harus melunasi PPN atas penyerahan hasil produksi mereka di saat bersamaan dengan pelunasan ‘bon’ cukai mereka. Alhasil pola setoran PPN rokok akan mengikuti pola pelunasan cukainya, yang dengan kata lain pada satu masa pajak, setoran PPN rokok tidaklah mencerminkan jumlah penyerahan yang sebenarnya. PPN yang disetorkan merupakan hasil deduksi dari perhitungan jumlah cukai yang akan dilunasi -> di gross-up dengan tarif cukai sehingga ketemu nilai HJE -> dikalikan dengan tarif efektif PPN 8,4% dari nilai HJE tersebut. Jika diasumsikan terdapat korelasi yang kuat antara pola produksi dan pola pelunasan cukai, maka untuk PPN akan mengalami lag (waktu mundur) selama kurang lebih 2 masa pajak.

Pola seperti di atas akan semakin kentara di saat terdapat perubahan peraturan pemerintah yang mengubah HJE, tarif cukai, dan atau tarif cukai spesifik. Pabrikan rokok akan nampak ‘menimbun’ pesanan pita cukai sebelum saat diberlakukannya peraturan pemerintah yang baru dengan tujuan agar masih bisa menjual produknya dengan harga lama. Pada saat jatuh tempo barulah timbunan cukai tersebut dilunasi, sekaligus dengan pelunasan PPN-nya. Itulah sebabnya sehabis adanya peraturan baru, penerimaan PPN dari industri rokok nampak melonjak.

Berikut adalah sebuah contoh yang ‘cukup empiris’ yang menunjukkan bukti dari rangkaian cerita di atas. Berikut adalah tabel pemesanan pita cukai untuk triwulan I tahun 2008 dan 2007 dan bulan Desember tahun sebelumnya (misalnya kalau Januari-nya adalah tahun 2007 maka Desember tahun sebelumnya adalah 2006).


Tabel di atas menunjukkan adanya fluktuasi pesanan cukai di masa-masa antara Desember 2006 hingga Maret 2007 yang lebih besar (lihat besaran Standar Deviasi) dibanding fluktuasi periode Desember 2007 hingga Maret 2008. Gerangan apakah yang menyebabkan fluktuasi di triwulan I 2007 tersebut mencapai 5,5X lebih besar dibanding triwulan I 2008 ? Akan diurai satu per satu.

Di tahun 2007, tepatnya per 1 Maret, HJE dinaikkan 7% dan kemudian disusul per 1 Juli, diberlakukan tarif cukai spesifik sebesar Rp.7/batang rokok (untuk pabrikan golongan I). Tabel berikut akan memperjelas :


Peraturan ini menyebabkan pabrikan mengantisipasi dengan ‘menimbun’ cukai di bulan Januari & terutama Februari 2007. Di bulan Maret sendiri anjlok drastis. Penimbunan ini terpantau dari : (i) besarnya angka Standar Deviasi, dan (ii) jika dibandingkan dengan Januari dan Februari 2008 terlihat jauh lebih besar (growthnya minus -31,19% dan -31,89%).

Di tahun 2008, tepatnya per 1 Januari, untuk pabrikan golongan I mengalami kenaikan tarif cukai spesifik menjadi Rp.35/batang, yang diperjelas dengan tabel sebagai berikut :


Pabrikan mengantisipasi peraturan ini dengan ‘menimbun’ cukai di Desember 2007. Pesanan cukai di Januari 2008 sendiri anjlok drastis, terendah selama triwulan I tersebut. Indikasi penimbunan ini nampak dari meningkatnya jumlah pesanan cukai di Desember 2007 dibandingkan Desember 2006 sebesar 27,83%.

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan, hal-hal di atas menyebabkan turunnya jumlah pesanan cukai di triwulan I 2008 dibandingkan triwulan I 2007 sebesar -5%, walaupun bukan berarti penerimaan PPN selama triwulan I tersebut juga ikut turun. Setoran PPN dari pabrikan rokok yang terdaftar di KPP Wajib Pajak Besar Dua (yang mewakili > 90% industri rokok nasional) meningkat 7,82% dari Rp.2,1 trilyun menjadi Rp.2,3 trilyun. Penyebabnya adalah adanya lag antara saat pemesanan cukai dan saat pelunasannya.

Selasa, 07 Oktober 2008

Penilaian Efek Hutang (Bond)

Di dunia Debt Securities terdapat istilah Arbitrage Free Valuation / Arbitrage Free Approach (AFA). AFA, dan satu lagi yang disebut Relative Price Approach, merupakan dua cara penilaian harga instrumen surat hutang (bond). Sebelum membahas AFA, terlebih dahulu perlu di-recall kembali beberapa konsep sebagai berikut :

a. Yield to Maturity (YTM) : YTM merupakan ukuran ringkas, yang sebenarnya adalah annualized IRR yang berdasarkan cashflow dan market price dari sebuah bond. Dengan kata lain, YTM bagaikan sebuah 'rata-rata' dari faktor-faktor pendiskonto yang dipergunakan untuk mendiskonto tiap-tiap individual cashflow dari bond. Masing-masing faktor pendiskonto ini disebut dengan Spot Rate. Keterbatasan YTM adalah ia tidak memperhitungkan compound rate (bunga majemuk) dari investasi selama umur bond, yang disebabkan kita tidak tahu mengenai tingkat bunga yang akan kita peroleh saat kita me-reinvestasi kupon kita (YTM akan beda dengan Realized Rate kecuali Reinvestment Rate = YTM). YTM bisa dinyatakan sebagai : Semi-annual YTM / (BEY: Bond Equivalent Yield) atau Annual YTM / (Equivalent Annual Yield) / (Effective Annual Yield) yang keduanya bisa saling dikonversi (semi-annual menjadi annual dan sebaliknya).

b. Spot Rate : SR merupakan faktor diskonto untuk tiap cashflow yang kita terima tergantung dari maturity 
    cashflow tsb. Spot Rate bisa diperoleh dengan 2 cara : 
    1). Bootstrapping process 
    2). Konversi dari forward rate.

    Baik YTM maupun Spot Rate bisa digunakan untuk valuasi bond, tergantung informasi yang tersedia. 

c. Nilai dari bond yang 'bebas arbitrase' diperoleh dari jumlah tiap-tiap present value (PV) dari expected cashflownya yang didiskonto dengan spot rate yang sesuai dengan maturity masing-masing cashflow tersebut. Jika nilai 'bebas arbitrase' tsb. tidak sama dengan market value (MV) dari bond, maka muncul peluang arbitrase (dapat untung tanpa resiko). Jika MV sebuah bond lebih kecil nilai bebas arbitrase, seorang arbitrageur akan membeli bond tersebut, mempretelinya, dan menjual komponen2nya dengan cara STRIPPING (menciptakan berbagai zero-coupon bond dengan berbagai maturity yang berasal dari masing2 pembayaran kupon), dan sebaliknya.

Investasi efek hutang berbunga mengambang 2

Dalam artikel sebelumnya telah disinggung mengenai variable coupon rate. Rumusnya adalah Coupon Rate = Reference Rate ± Quoted Margin (QM). Besaran QM nilainya tetap. Berikut adalah pembahasan mengenai kapan QM menjadi pengurang atau jadi penambah reference rate :
Calon investor akan melakukan penilaian surat utang dari ‘ekspektasi’ yield-nya. Kalo market interest rate naik, ekspektasi yield-pun naik, coupon rate menjadi tidak lagi menarik, maka biasanya reference rate di+ dengan quoted margin. Tujuannya agar paparan resiko harga surat terdiskon yang dihadapi investor berkurang. Sebaliknya kalo market rate turun, yield-pun turun, coupon rate bisa aja menjadi terlalu tinggi (issuer rugi), dan dia pun mungkin akan mengurangi coupun ratenya dengan QM. Jadi instrumen ini diciptakan untuk mengurangi fluktuasi premi/ diskon harga surat utang, sehingga kuponnya akan menjadi naik turun sementara quoted margin-nya tetap. Di buku materi CFA Level I dari Schweser, model surat utang ini tingkat kuponnya diubah secara periodik (mis. 3, 6, atau 12 bulan) tergantung tingkat bunga pasar, sementara QM-nya sendiri bisa berubah sepanjang waktu sesuai dengan skedul yang dinyatakan di dalam indenture-nya.

Kemudian mengenai floating rate yang berjenis Inverse Floater dikatakan kalau reference rate-nya naik, coupon rate-nya turun, dan sebaliknya kalau reference rate-nya turun, coupon rate-nya naik. Muncul pendapat bahwa hal ini bisa merugikan dua belah pihak (issuer dan investor) sebagai berikut : pada saat reference rate naik, bond holder dirugikan (karena interest rate naik, tapi kupon malah turun) dan ketika reference rate turun, issuer yang dirugikan.
Penjelasan hal ini barangkali bisa diperoleh dengan mencoba memahami logika spekulan. Inverse Floater, bisa disebut instrumen derivatif karena ia merupakan turunan dari instrumen keuangan yang lain, dalam hal ini Floater biasa. Instrumen ini kemungkinan dimanfaatkan kalangan investor spekulan atau bisa juga di kalangan investor kontrarian yang memandang banyak hal secara berlawanan dengan kebanyakan khalayak. Mereka yang berani berinvestasi dalam instrumen seperti ini mestinya sudah menjalankan manajemen resiko yang baik. Untuk issuer, tentu saja mereka punya prediksi yang berlawanan dengan calon investor. Instrumen ini lazim ditemui di Sekuritas/ Efek Beragun Aset (SBA/ EBA) yaitu Mortgage-Backed Securities (MBS). Manajer Investasi yang mensekuritisasi aset-aset kredit pemilikan rumah yang berasal dari Originator (misalnya BTN) yang punya prediksi tingkat bunga akan meningkat akan dapat untung besar karena akan menerima pembayaran KPR yang makin besar dari originator sementara dia cuma harus membayar coupon rate MBS yang makin kecil pada investor.

Sama halnya dengan Range Notes. Kalau reference rate bergerak di luar range tingkat bunga yang sudah dijadwalkan untuk kupon, maka kupon tersebut akan malah diset dengan tingkat bunga 0% (nol persen). Pertimbangan Bond Issuer ketika menerbitkan bond dengan floating rate coupon dengan model seperti ini adalah bahwa instrumen seperti ini diminati calon investor yang punya keyakinan kuat bahwa tingkat bunga akan bergerak hanya dalam koridor tertentu. Sebagai ganti tidak membayarkan kupon jika tingkat bunga referens bergerak di luar koridor, maka Issuer akan memberikan tingkat bunga yang lebih tinggi dibandingkan instrumen standar yang setara, misalnya Floating Rate Notes. Tingkat kupon instrumen ini ditentukan di muka. Baik Range Notes maupun FRN pembayaran kuponnya tergantung pada arah pergerakan index referensinya.

Senin, 06 Oktober 2008

Investasi efek hutang berbunga mengambang

Salah satu instrumen investasi dalam efek yang bersifat hutang ada yang memiliki fitur suku bunga mengambang (floating rate coupon). Berikut ada sedikit mengenai apa dan bagaimana tentang instrumen yang satu ini :

Return dari suatu instrumen debt dilihat dari yield (total kembalian) yang biasa disebut yield to maturity (Internal Rate of Return / IRR). Investor memiliki ‘ekspektasi’ atas yield yang berbeda-beda, tergantung dari penelaahannya mengenai kondisi pasar pada suatu saat dan toleransinya terhadap resiko, yang mana ‘ekspektasi’ yield ini diistilahkan dengan required yield, discount rate, atau opportunity cost. Kondisi pasar yang selalu berubah tentunya menyebabkan ‘ekspektasi’ yield tersebut ikut berubah-ubah. Otomatis ini menyebabkan surat utang berbunga tetap yang divaluasi dengan discount factor yang selalu berubah tersebut akan memperoleh hasil valuasi yang berubah-ubah pula, yang tercermin dengan adanya diskon atau premium. Calon investor yang agak takut resiko tentunya kurang suka dengan instrumen investasi yang demikian karena mereka tidak bisa membuat planning. Oleh karena itu diciptakan instrumen lain yaitu surat utang dengan floating rate coupon yang pembayaran bunganya bervariasi mengikuti tingkat bunga atau index tertentu dengan tujuan agar paparan resiko investor terhadap munculnya diskon atau premium bisa berkurang.

Formula coupon rate = reference rate (LIBOR, Treasury Rate, dll) ± quoted margin.

Namun perlu diingat, seberapa floating-nya dari suatu instrumen utang tidaklah tidak terbatas. Sebagaimana contoh di atas, dalam kondisi suku bunga yang selalu meningkat tidaklah mungkin issuer (penerbit) terus-terusan menaikkan tingkat kupon dari surat utangnya hanya untuk ‘memuaskan’ investor dari surat utangnya tersebut. Oleh karenanya dibuatlah aturan-aturan main lebih lanjut sebagai berikut :
  1. Cap : opsi dari issuer surat utang untuk membatasi mereka dari kemungkinan harus membayar tingkat bunga yang terlalu tinggi karena fluktuasi dari tingkat bunga atau index yang dijadikan referensi penentuan kupon.
  2. Floor : opsi dari pemegang surat utang untuk membatasi mereka terhadap kemungkinan menerima tingkat kupon yang terlalu rendah karena fluktuasi dari referensi.
  3. Collar : kondisi kalo cap dan floor ada secara bersamaan.
  4. Drop lock : dari namanya bisa diperkirakan kalo maksudnya jika nilai kupon suatu surat utang turun dan menyentuh level tertentu, maka struktur kupon yang tadinya floating akan berubah menjadi fixed. Mestinya ini untuk melindungi pemegang surat utang.

Fitur-fitur di atas sejatinya merupakan instrumen derivatif yang ‘melekat’ pada instrumen surat hutang. Dalam proses valuasi, instrumen-instrumen ini memiliki nilai (harga) nya sendiri.

Krisis likuiditas perbankan nasional

Sebagai orang awam yang pengetahuan ilmu ekonominya masih sangat dangkal, boleh-boleh saja kita merasa minder dengan berita-berita krisis ekonomi di koran yang terkesan berat dan rumit. Namun semestinya hal itu tidak membuat kita menjadi cuek alias tidak mau tahu. Serumit apa pun sebuah peristiwa yang terjadi dengan banyaknya variabel yang terkait sebenarnya bisa diuraikan dan dijelaskan menjadi lebih sederhana. Paling tidak kita bisa ‘meraba’ keterkaitan berbagai variabel tersebut dan melihat garis besarnya. Banyak dari kita sudah terkena imbas krisis saat ini, dan alangkah ruginya jika kita juga tidak mengetahui alur cerita peristiwa yang sedang kita alami.

Akhir-akhir ini dapat kita amati sedang terjadi perang bunga deposito. Ini merupakan pertanda bahwa dunia perbankan nasional sedang mengalami kesulitan likuiditas; mereka sedang sangat membutuhkan dana segar. Likuiditas sendiri merupakan darah bagi perbankan yang tanpanya bisa menyebabkan ambruknya sebuah bank hingga harus menjadi pasien BPPN (cerita saat krismon yang berawal di tahun 1997 lalu).
Masalahnya disebabkan oleh penyaluran kredit yang cepat yang tidak diimbangi dengan penghimpunan dana pihak ketiga yang memadai. Apalagi ditambah dengan adanya kekhawatiran krisis global yang mencapai tanah air, peningkatan inflasi, kenaikan suku bunga BI, dan ancaman pelambatan ekonomi, membuat perbankan berusaha menjaga likuiditasnya tetap tinggi, dengan cara menaikkan suku bunga simpanan yang bahkan lebih tinggi dari tingkat bunga yang dijamin Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) (yaitu maksimal 9,25% untuk Rp dan 3,5% untuk US$).

Sedikit merunut ke belakang untuk mengurai kondisi tersebut, dapat dimulai dengan adanya gejolak harga komoditas (minyak bumi, batu bara, CPO, bahan makanan, dsb) di pasar dunia. Gejolak harga komoditas ini disebabkan banyak hal, namun yang sering disebut-sebut adalah khalayak yang mencari safe-haven atas investasinya di pasar modal dan pasar uang AS yang menurun. Sebagai pengingat, pasar keuangan terdiri dari pasar modal (efek hutang jangka panjang & ekuitas), pasar uang (efek hutang jangka pendek), dan pasar komoditas; dana akan keluar dari pasar yang sedang menurun dan pindah ke pasar yang diharapkan akan meningkat. Sentimen negatif di pasar modal AS disebabkan munculnya kasus sub-prime mortgage yang memunculkan kesan bahwa investasi pada efek yang berasal dari pasar modal AS itu berbahaya. Sentimen negatif di pasar uang AS lebih panjang ceritanya, namun pada prinsipnya hal itu disebabkan karena melemahnya kurs US$. Kurs US$ melemah karena adanya kekhawatiran tentang besarnya hutang pemerintah AS untuk menutup defisitnya (defisit anggaran & transaksi berjalan). Hutang yang makin besar sampai satu titik tertentu akan memunculkan pertanyaan tentang bagaimana kesinambungannya. Uang kertas dollar itu sendiri merupakan surat pernyataan hutang dari pemerintah AS pada si pemegangnya. Selama kebijakan dollar kuat bisa berjalan dengan baik maka si pemegang uang kertas itu tetap akan ‘rela’ memegangnya dan tidak akan minta dilunasi. Namun, mekanisme pasar ternyata mengetahui berapa sebenarnya nilai intrinsik dari surat hutang itu, dan ia bekerja untuk melakukan koreksi dengan cara mendiskon kurs US$. Pemegang uang dollar AS yang kursnya terus terdiskon tentunya akan memilih ‘menjual’ (minta pelunasan) surat utangnya. Dan sepertinya hal itu bisa memunculkan efek bola salju.

Di pasar modal dana terpangkas kerugian kasus sub-prime, sisanya berebut ditarik keluar. Di pasar uang pun serupa, masyarakat berebut mengambil kas. Dana-dana yang keluar dari kedua pasar ini masuk ke pasar komoditas. Harga komoditas terkerek naik sangat tinggi namun tidak wajar. Jika komoditas yang harganya meningkat adalah komoditas bahan bakar energi seperti minyak bumi ataupun batu bara, maka imbasnya akan terasa oleh seluruh manusia di atas bumi. Ongkos produksi barang maupun jasa meningkat, menimbulkan cost-push inflation. Inflasi mengikis daya beli masyarakat, membuat barang dan jasa tersebut tidak laku. Kondisi ini memunculkan anggapan akan melemahnya pertumbuhan ekonomi dunia. Jika ekonomi melemah akan menimbulkan makin besarnya angka pengangguran. Makin besar angka pengangguran, akan makin parah pula kemiskinan. Ini baru melihat pukulan yang dialami sektor riil dari satu arah yaitu gejolak di pasar komoditas. Pukulan lain berasal dari pasar uang dan pasar modal, menyebabkan sulitnya mencari pendanaan. Mencari pendanaan dari pasar modal yang sedang mengalami krisis kepercayaan menjadi lebih sulit. Pasar uang juga sedang dirundung kemalangan. Banyak bank rugi karena investasinya pada efek terkait sub-prime lenyap. Mereka mulai meninjau ulang kebijakan pemberian kreditnya. Aliran pembiayaan ke sektor riil pun macet. Sektor riil mengalami kekeringan likuiditas. Mungkin saja bank-bank tersebut punya pikiran sama dengan kebanyakan orang kita di sini: dalam situasi tak menentu, pemegang uang kas adalah raja.

Di Indonesia, harga komoditas internasional yang kemudian meningkat menyebabkan terjadinya imported inflation di sektor riil (karena apa-apa harus impor), yang lalu disusul cost-push inflation. BI mengantisipasi inflasi ini dengan menaikkan BI Rate sebesar 0,25% menjadi 9,5% per 7 Okt 08 (yang kontradiktif dengan kebijakan Bank Sentral di negara lain yang menurunkan atau mempertahankan suku bunganya. Tujuannya agar ekonomi tetap berjalan meskipun dalam kondisi krisis) yang dimaksudkan selain meredam inflasi (baik yang berasal dari sisi suplai: cost-push inflation maupun yang dari sisi demand: demand-pull inflation. Indikasi adanya demand-pull ini dilihat dari tingginya tingkat pertumbuhan kredit) juga untuk menahan gejolak nilai tukar rupiah (alasan yang terakhir ini selalu dibantah BI). Bagi sektor riil, langkah BI ini mencerminkan kenaikan skala pengetatan moneter yang membuat mereka makin sulit mendapatkan kredit. Untuk menahan gejolak nilai tukar (penyebabnya digambarkan di paragraf berikut), selain dengan mekanisme BI Rate BI juga menambah pasokan valuta asing di pasar dengan cadangan devisa yang dimilikinya.

Di kalangan pasar modal pun terkena imbasnya pula. Banyak investor asing tanpa memikirkan loss yang akan direalisasinya ramai-ramai mencairkan investasinya di berbagai bursa dunia, termasuk Indonesia. Katanya para investor asing ini ingin mengkonsolidasi investasi mereka di negerinya dengan dana hasil pencairan ini. Tak bisa dihindari lagi, IHSG pun longsor (sejak awal Januari hingga 8 Okt 08 sudah anjlok 47%; terburuk kedua di Asia setelah bursa Shanghai). Kondisi bursa diperburuk oleh kebijakan BI yang menaikkan BI Rate-nya; memunculkan sentimen negatif mengenai memburuknya kondisi emiten-emiten di bursa. Rupiah hasil penjualan investasi yang dikonversi menjadi valuta asing membuat kurs rupiah pun ikut longsor. Kesimpulannya, hot money yang keluar dari pasar modal Indonesia menularkan penyakit ke pasar uang Indonesia.

Uraian di atas menunjukkan adanya ‘kelainan’ (anomali) pada perekonomian Indonesia. Anomali tersebut nampak dari ketidak sesuaian kondisi Indonesia dibandingkan situasi internasional. Dari sisi otoritas moneter: di luar negeri suku bunga dipertahankan/ diturunkan, di Indonesia malah dinaikkan. Sektor riil yang sedang getol cari kredit (modal kerja dan investasi) dan sektor konsumen (kredit konsumtif) ‘bakalan’ menderita. Ujung-ujungnya, kredit bermasalah (Non-Performing Loan) bakal meningkat. Dari sisi pasar uang: di luar negeri perbankan meninjau kembali kebijakan pemberian pinjaman mereka, di Indonesia perbankan malah jor-joran kredit sampai-sampai bingung cari dana segar.

Masalah keringnya likuiditas perbankan nasional akan nampak dari rasio likuiditas, yang mana rasio ini dipakai untuk mengukur kemampuan perbankan dalam mengantisipasi penarikan dana oleh masyarakat. Rasio likuiditas = Σ alat likuid / Σ Non-Core Deposit (NCD). Alat likuid terdiri dari kas dan penempatan pada BI, NCD adalah jumlah dari 30% tabungan+giro + 10% deposito berjangka 1-3 bulan. Rasio ini memasuki zona bahaya jika berada di bawah angka 100, sebab bank berpotensi kesulitan menyediakan dana yang ingin ditarik oleh nasabah. Saat ini perbankan nasional belum sampai melanggar angka ini.
Variabel-variabel yang menjadi indikator adanya aktivitas penyaluran kredit yang meningkat adalah :

  1. Laju kredit setahunan hingga Agustus 2008 mencapai 35%, sementara pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) hanya 14%. Maka perbankan menggunakan sumber dana selain DPK untuk mendanai kredit, misalnya dengan mencairkan SBI yang dimilikinya. Catatan: ada pendapat lain yang mengatakan bahwa pertumbuhan kredit bukan menjadi penyebab keringnya likuiditas perbankan saat ini, tetapi hal itu lebih disebabkan karena adanya korelasi likuiditas perbankan denngan saat pencairan anggaran pemerintah. Saat pemerintah menahan penyaluran anggaran, pasar seperti kehausan likuiditas dan sebaliknya.
  2. Turunnya kepemilikan bank pada SBI/Fasbi sehingga alat likuid bank turun 3,44% selama triwulan II 2008 sementara hutang jangka penek bank (penambahan DPK) selama triwulan tsb hanya 2,74%.
  3. Perbankan menawarkan deposito rupiah dengan suku bunga yang tinggi, lebih tinggi dari BI Rate dan suku bunga Penjaminan.
  4. Meningkatnya kebutuhan likuiditas untuk operasional perbankan melalui pinjaman rupiah harian antar bank (interbank overnight call money rate/ overnight rate) sehingga suku bunganya cenderung naik.
  5. Maraknya penyaluran kredit ditambah adanya defisit neraca perdagangan barang yang disebabkan impor barang yang melebihi nilai ekspor (pada Juli 2008) mengindikasikan permintaan agregat yang tumbuh lebih cepat dibanding dengan kapasitas produksi yang belum memadai. Ini akan memicu inflasi yang berasal dari sisi permintaan (demand-pull) yang bersifat lebih fundamental.

Akhirnya, setelah pembahasan panjang lebar di atas, mulai bermunculan pola-pola yang dapat disimpulkan di bawah ini :

  1. Masalah keringnya likuiditas diantisipasi oleh BI dengan kebijakan non suku bunga seperti : (i) perpanjangan waktu forex swap, (ii) penyediaan valas melalui bank umum untuk perusahaan domestik, (iii) penurunan rasio Giro Wajib Minimum (GWM) dari 3% ke 1%, (iv) meniadakan batas posisi saldo harian pinjaman LN jangka pendek, dan (v) menyederhanakan perhitungan GWM menjadi statutory reserves sebesar 7,5%.
  2. Inflasi yang muncul menyusul keringnya likuiditas tersebut ditanggulangi dengan kebijakan suku bunga BI Rate.
  3. Inflasi yang meningkat menyebabkan kurs mata uang rupiah akan melemah secara relatif. Masalah ini akan diatasi dengan kebijakan suku bunga BI Rate (walaupun BI tidak mangakui) dan intervensi di pasar valas dengan menggunakan cadangan devisa.

Sumber :
1. Krisis Keuangan dan Reorientasi Strategi Ekonomi. Prof. Dr. Hendrawan Supratikno. Harian Media Indonesia, Senin 13 Okt 2008.
2. Krisis Keuangan AS : Dunia Merasa Lega untuk Sementara. Harian Kompas.
3. BI Memilih Amankan Inflasi dan Rupiah. Harian Kontan.
4. Sebagian Bank Masih Menahan Bunga Kredit. Harian Kontan.
5. Hadapi Gejolak Pasar Global: BI Pastikan Fleksibilitas Instrumen Moneter. Harian Neraca.
6. Rasio Likuiditas Bank Memburuk: SBI Bank BUMN Hampir Habis. Harian Kompas.
7. Antisipasi Krisis Finansial dan Likuiditas: Picu Perang Suku Bunga. Harian Neraca, Selasa 16 September 2008.
8. Bank Indonesia Redam Inflasi: BI Rate Naik 25 Basis Poin Menjadi 9,25%. Harian Kompas.
9. Analisis Danareksa: Likuiditas Perlu Dikelola Lebih Baik. Harian Kompas, Senin 8 September 2008.
10. Industri Perbankan: Seretnya Likuiditas dan Perang Suku Bunga. Harian Kompas, Jumat 12 September 2008.
11. BI Siap Gelontorkan US$ 721 Juta: Lima Kebijakan Dikeluarkan untuk Melonggarkan Likuiditas. Harian Tempo.

BigPict2 - Penyempitan Makna dlm Tugas yg Diemban Seksi Waskon

Waskon potensi tugasnya ya menggali potensi. Per definisi Current & Existing Risk, aktivitas ini dilakukan secara menyeluruh terhadap s...