Senin, 06 Oktober 2008

Krisis likuiditas perbankan nasional

Sebagai orang awam yang pengetahuan ilmu ekonominya masih sangat dangkal, boleh-boleh saja kita merasa minder dengan berita-berita krisis ekonomi di koran yang terkesan berat dan rumit. Namun semestinya hal itu tidak membuat kita menjadi cuek alias tidak mau tahu. Serumit apa pun sebuah peristiwa yang terjadi dengan banyaknya variabel yang terkait sebenarnya bisa diuraikan dan dijelaskan menjadi lebih sederhana. Paling tidak kita bisa ‘meraba’ keterkaitan berbagai variabel tersebut dan melihat garis besarnya. Banyak dari kita sudah terkena imbas krisis saat ini, dan alangkah ruginya jika kita juga tidak mengetahui alur cerita peristiwa yang sedang kita alami.

Akhir-akhir ini dapat kita amati sedang terjadi perang bunga deposito. Ini merupakan pertanda bahwa dunia perbankan nasional sedang mengalami kesulitan likuiditas; mereka sedang sangat membutuhkan dana segar. Likuiditas sendiri merupakan darah bagi perbankan yang tanpanya bisa menyebabkan ambruknya sebuah bank hingga harus menjadi pasien BPPN (cerita saat krismon yang berawal di tahun 1997 lalu).
Masalahnya disebabkan oleh penyaluran kredit yang cepat yang tidak diimbangi dengan penghimpunan dana pihak ketiga yang memadai. Apalagi ditambah dengan adanya kekhawatiran krisis global yang mencapai tanah air, peningkatan inflasi, kenaikan suku bunga BI, dan ancaman pelambatan ekonomi, membuat perbankan berusaha menjaga likuiditasnya tetap tinggi, dengan cara menaikkan suku bunga simpanan yang bahkan lebih tinggi dari tingkat bunga yang dijamin Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) (yaitu maksimal 9,25% untuk Rp dan 3,5% untuk US$).

Sedikit merunut ke belakang untuk mengurai kondisi tersebut, dapat dimulai dengan adanya gejolak harga komoditas (minyak bumi, batu bara, CPO, bahan makanan, dsb) di pasar dunia. Gejolak harga komoditas ini disebabkan banyak hal, namun yang sering disebut-sebut adalah khalayak yang mencari safe-haven atas investasinya di pasar modal dan pasar uang AS yang menurun. Sebagai pengingat, pasar keuangan terdiri dari pasar modal (efek hutang jangka panjang & ekuitas), pasar uang (efek hutang jangka pendek), dan pasar komoditas; dana akan keluar dari pasar yang sedang menurun dan pindah ke pasar yang diharapkan akan meningkat. Sentimen negatif di pasar modal AS disebabkan munculnya kasus sub-prime mortgage yang memunculkan kesan bahwa investasi pada efek yang berasal dari pasar modal AS itu berbahaya. Sentimen negatif di pasar uang AS lebih panjang ceritanya, namun pada prinsipnya hal itu disebabkan karena melemahnya kurs US$. Kurs US$ melemah karena adanya kekhawatiran tentang besarnya hutang pemerintah AS untuk menutup defisitnya (defisit anggaran & transaksi berjalan). Hutang yang makin besar sampai satu titik tertentu akan memunculkan pertanyaan tentang bagaimana kesinambungannya. Uang kertas dollar itu sendiri merupakan surat pernyataan hutang dari pemerintah AS pada si pemegangnya. Selama kebijakan dollar kuat bisa berjalan dengan baik maka si pemegang uang kertas itu tetap akan ‘rela’ memegangnya dan tidak akan minta dilunasi. Namun, mekanisme pasar ternyata mengetahui berapa sebenarnya nilai intrinsik dari surat hutang itu, dan ia bekerja untuk melakukan koreksi dengan cara mendiskon kurs US$. Pemegang uang dollar AS yang kursnya terus terdiskon tentunya akan memilih ‘menjual’ (minta pelunasan) surat utangnya. Dan sepertinya hal itu bisa memunculkan efek bola salju.

Di pasar modal dana terpangkas kerugian kasus sub-prime, sisanya berebut ditarik keluar. Di pasar uang pun serupa, masyarakat berebut mengambil kas. Dana-dana yang keluar dari kedua pasar ini masuk ke pasar komoditas. Harga komoditas terkerek naik sangat tinggi namun tidak wajar. Jika komoditas yang harganya meningkat adalah komoditas bahan bakar energi seperti minyak bumi ataupun batu bara, maka imbasnya akan terasa oleh seluruh manusia di atas bumi. Ongkos produksi barang maupun jasa meningkat, menimbulkan cost-push inflation. Inflasi mengikis daya beli masyarakat, membuat barang dan jasa tersebut tidak laku. Kondisi ini memunculkan anggapan akan melemahnya pertumbuhan ekonomi dunia. Jika ekonomi melemah akan menimbulkan makin besarnya angka pengangguran. Makin besar angka pengangguran, akan makin parah pula kemiskinan. Ini baru melihat pukulan yang dialami sektor riil dari satu arah yaitu gejolak di pasar komoditas. Pukulan lain berasal dari pasar uang dan pasar modal, menyebabkan sulitnya mencari pendanaan. Mencari pendanaan dari pasar modal yang sedang mengalami krisis kepercayaan menjadi lebih sulit. Pasar uang juga sedang dirundung kemalangan. Banyak bank rugi karena investasinya pada efek terkait sub-prime lenyap. Mereka mulai meninjau ulang kebijakan pemberian kreditnya. Aliran pembiayaan ke sektor riil pun macet. Sektor riil mengalami kekeringan likuiditas. Mungkin saja bank-bank tersebut punya pikiran sama dengan kebanyakan orang kita di sini: dalam situasi tak menentu, pemegang uang kas adalah raja.

Di Indonesia, harga komoditas internasional yang kemudian meningkat menyebabkan terjadinya imported inflation di sektor riil (karena apa-apa harus impor), yang lalu disusul cost-push inflation. BI mengantisipasi inflasi ini dengan menaikkan BI Rate sebesar 0,25% menjadi 9,5% per 7 Okt 08 (yang kontradiktif dengan kebijakan Bank Sentral di negara lain yang menurunkan atau mempertahankan suku bunganya. Tujuannya agar ekonomi tetap berjalan meskipun dalam kondisi krisis) yang dimaksudkan selain meredam inflasi (baik yang berasal dari sisi suplai: cost-push inflation maupun yang dari sisi demand: demand-pull inflation. Indikasi adanya demand-pull ini dilihat dari tingginya tingkat pertumbuhan kredit) juga untuk menahan gejolak nilai tukar rupiah (alasan yang terakhir ini selalu dibantah BI). Bagi sektor riil, langkah BI ini mencerminkan kenaikan skala pengetatan moneter yang membuat mereka makin sulit mendapatkan kredit. Untuk menahan gejolak nilai tukar (penyebabnya digambarkan di paragraf berikut), selain dengan mekanisme BI Rate BI juga menambah pasokan valuta asing di pasar dengan cadangan devisa yang dimilikinya.

Di kalangan pasar modal pun terkena imbasnya pula. Banyak investor asing tanpa memikirkan loss yang akan direalisasinya ramai-ramai mencairkan investasinya di berbagai bursa dunia, termasuk Indonesia. Katanya para investor asing ini ingin mengkonsolidasi investasi mereka di negerinya dengan dana hasil pencairan ini. Tak bisa dihindari lagi, IHSG pun longsor (sejak awal Januari hingga 8 Okt 08 sudah anjlok 47%; terburuk kedua di Asia setelah bursa Shanghai). Kondisi bursa diperburuk oleh kebijakan BI yang menaikkan BI Rate-nya; memunculkan sentimen negatif mengenai memburuknya kondisi emiten-emiten di bursa. Rupiah hasil penjualan investasi yang dikonversi menjadi valuta asing membuat kurs rupiah pun ikut longsor. Kesimpulannya, hot money yang keluar dari pasar modal Indonesia menularkan penyakit ke pasar uang Indonesia.

Uraian di atas menunjukkan adanya ‘kelainan’ (anomali) pada perekonomian Indonesia. Anomali tersebut nampak dari ketidak sesuaian kondisi Indonesia dibandingkan situasi internasional. Dari sisi otoritas moneter: di luar negeri suku bunga dipertahankan/ diturunkan, di Indonesia malah dinaikkan. Sektor riil yang sedang getol cari kredit (modal kerja dan investasi) dan sektor konsumen (kredit konsumtif) ‘bakalan’ menderita. Ujung-ujungnya, kredit bermasalah (Non-Performing Loan) bakal meningkat. Dari sisi pasar uang: di luar negeri perbankan meninjau kembali kebijakan pemberian pinjaman mereka, di Indonesia perbankan malah jor-joran kredit sampai-sampai bingung cari dana segar.

Masalah keringnya likuiditas perbankan nasional akan nampak dari rasio likuiditas, yang mana rasio ini dipakai untuk mengukur kemampuan perbankan dalam mengantisipasi penarikan dana oleh masyarakat. Rasio likuiditas = Σ alat likuid / Σ Non-Core Deposit (NCD). Alat likuid terdiri dari kas dan penempatan pada BI, NCD adalah jumlah dari 30% tabungan+giro + 10% deposito berjangka 1-3 bulan. Rasio ini memasuki zona bahaya jika berada di bawah angka 100, sebab bank berpotensi kesulitan menyediakan dana yang ingin ditarik oleh nasabah. Saat ini perbankan nasional belum sampai melanggar angka ini.
Variabel-variabel yang menjadi indikator adanya aktivitas penyaluran kredit yang meningkat adalah :

  1. Laju kredit setahunan hingga Agustus 2008 mencapai 35%, sementara pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) hanya 14%. Maka perbankan menggunakan sumber dana selain DPK untuk mendanai kredit, misalnya dengan mencairkan SBI yang dimilikinya. Catatan: ada pendapat lain yang mengatakan bahwa pertumbuhan kredit bukan menjadi penyebab keringnya likuiditas perbankan saat ini, tetapi hal itu lebih disebabkan karena adanya korelasi likuiditas perbankan denngan saat pencairan anggaran pemerintah. Saat pemerintah menahan penyaluran anggaran, pasar seperti kehausan likuiditas dan sebaliknya.
  2. Turunnya kepemilikan bank pada SBI/Fasbi sehingga alat likuid bank turun 3,44% selama triwulan II 2008 sementara hutang jangka penek bank (penambahan DPK) selama triwulan tsb hanya 2,74%.
  3. Perbankan menawarkan deposito rupiah dengan suku bunga yang tinggi, lebih tinggi dari BI Rate dan suku bunga Penjaminan.
  4. Meningkatnya kebutuhan likuiditas untuk operasional perbankan melalui pinjaman rupiah harian antar bank (interbank overnight call money rate/ overnight rate) sehingga suku bunganya cenderung naik.
  5. Maraknya penyaluran kredit ditambah adanya defisit neraca perdagangan barang yang disebabkan impor barang yang melebihi nilai ekspor (pada Juli 2008) mengindikasikan permintaan agregat yang tumbuh lebih cepat dibanding dengan kapasitas produksi yang belum memadai. Ini akan memicu inflasi yang berasal dari sisi permintaan (demand-pull) yang bersifat lebih fundamental.

Akhirnya, setelah pembahasan panjang lebar di atas, mulai bermunculan pola-pola yang dapat disimpulkan di bawah ini :

  1. Masalah keringnya likuiditas diantisipasi oleh BI dengan kebijakan non suku bunga seperti : (i) perpanjangan waktu forex swap, (ii) penyediaan valas melalui bank umum untuk perusahaan domestik, (iii) penurunan rasio Giro Wajib Minimum (GWM) dari 3% ke 1%, (iv) meniadakan batas posisi saldo harian pinjaman LN jangka pendek, dan (v) menyederhanakan perhitungan GWM menjadi statutory reserves sebesar 7,5%.
  2. Inflasi yang muncul menyusul keringnya likuiditas tersebut ditanggulangi dengan kebijakan suku bunga BI Rate.
  3. Inflasi yang meningkat menyebabkan kurs mata uang rupiah akan melemah secara relatif. Masalah ini akan diatasi dengan kebijakan suku bunga BI Rate (walaupun BI tidak mangakui) dan intervensi di pasar valas dengan menggunakan cadangan devisa.

Sumber :
1. Krisis Keuangan dan Reorientasi Strategi Ekonomi. Prof. Dr. Hendrawan Supratikno. Harian Media Indonesia, Senin 13 Okt 2008.
2. Krisis Keuangan AS : Dunia Merasa Lega untuk Sementara. Harian Kompas.
3. BI Memilih Amankan Inflasi dan Rupiah. Harian Kontan.
4. Sebagian Bank Masih Menahan Bunga Kredit. Harian Kontan.
5. Hadapi Gejolak Pasar Global: BI Pastikan Fleksibilitas Instrumen Moneter. Harian Neraca.
6. Rasio Likuiditas Bank Memburuk: SBI Bank BUMN Hampir Habis. Harian Kompas.
7. Antisipasi Krisis Finansial dan Likuiditas: Picu Perang Suku Bunga. Harian Neraca, Selasa 16 September 2008.
8. Bank Indonesia Redam Inflasi: BI Rate Naik 25 Basis Poin Menjadi 9,25%. Harian Kompas.
9. Analisis Danareksa: Likuiditas Perlu Dikelola Lebih Baik. Harian Kompas, Senin 8 September 2008.
10. Industri Perbankan: Seretnya Likuiditas dan Perang Suku Bunga. Harian Kompas, Jumat 12 September 2008.
11. BI Siap Gelontorkan US$ 721 Juta: Lima Kebijakan Dikeluarkan untuk Melonggarkan Likuiditas. Harian Tempo.

Tidak ada komentar:

BigPict2 - Penyempitan Makna dlm Tugas yg Diemban Seksi Waskon

Waskon potensi tugasnya ya menggali potensi. Per definisi Current & Existing Risk, aktivitas ini dilakukan secara menyeluruh terhadap s...