Rabu, 28 April 2010

Aspek Pajak untuk Gereja dan Yayasan yang dinaunginya

Pada kesempatan sebelumnya, sempat ada pertanyaan mengenai aspek perpajakan untuk yayasan. Dipaparkan bahwa terdapat beberapa langkah dalam mengkaji hal tersebut. Mulai dari sumber pendanaan yayasan, operasional, dan hingga fasilitas penundaan pajak atas laba bersih (untuk yayasan pendidikan dikenal dengan istilah Sisa Lebih). Di kesempatan ini, akan dipaparkan kembali contoh kasus yang lebih lengkap, yaitu institusi Gereja beserta yayasan-yayasan yang dinaunginya, yang mana analoginya dapat diterapkan pada kasus-kasus lain yang serupa.

WP adalah orang pribadi atau badan yang meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
Gereja menurut penjelasannya, gereja adalah kumpulan orang-orang yang merupakan kesatuan (walaupun) tidak melakukan kegiatan usaha. Hal ini dapat berupa perkumpulan, persekutuan, organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya. Karena syarat subjektif yaitu termasuk dalam definisi badan telah terpenuhi, berarti di saat gereja memperoleh penghasilan maka ia telah pula memenuhi persyaratan objektif. Terpenuhinya kedua syarat ini menjadikan gereja sebagai Wajib Pajak.

Meskipun demikian, ada kategori penerimaan-penerimaan gereja yang bukan obyek PPh (pasal 4 ayat (3) UU PPh) antara lain kolekte, perpuluhan, persembahan jemaat, sumbangan dan hibah. Dana yang terhimpun bisa digunakan untuk membiayai bermacam-macam keperluan, mulai dari operasional sehari-hari gereja hingga memperluas cakupan pelayanan kepada masyarakat, semisal melalui bentuk badan hukum yayasan.

Kewajiban perpajakan gereja
Untuk keperluan operasional sehari-hari, Gereja membayarkan penghasilan kepada pendeta, pastor, majelis gereja, pegawai gereja dan pihak lainnya yang terutang PPh (jika dalam setahun jumlahnya telah melebihi PTKP yaitu Rp. 15,840 juta). Selanjutnya gereja diwajibkan memotong atau memungut PPh dari pembayaran tersebut, melalui bendahara (atau pemegang kas) yang ditunjuk. Gereja dalam hal ini diwakili oleh bendahara (atau pemegang kas) wajib memiliki NPWP sebagai wajib pajak pemotong atau pemungut PPh.
Kewajiban perpajakan gereja yang diwakili oleh bendahara sebagai pemotong atau pemungut PPh yakni melakukan pemotongan atau pemotongan PPh pasal 21 atas pembayaran gaji atau upah atau honor dan sejenis kepada orang pribadi (pendeta atau pastor, majelis, pegawai gereja dan lain-lain); memotong PPh pasal 23 jika menggunakan jasa pihak ketiga; memberikan bukti potong PPh kepada orang pribadi di atas; membayar atau menyetor PPh yang dipungut ke bank persepsi atau kantor pos persepsi; melaporkan kewajiban pemotongan pajak tersebut melalui SPT ke KPP; membayar PPN setiap pembelian BKP/JKP; melunasi bea meterai atas setiap dokumen yang merupakan obyek bea meterai.

Kewajiban perpajakan perseorangan
Kewajiban pajak penghasilan bagi pendeta atau pastor, majelis dan pegawai gereja muncul setelah mereka memperoleh penghasilan yang merupakan obyek pajak (gaji, honor, tunjangan) di atas PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) dari gereja maupun sumber lainnya. Dengan kata lain, mereka telah termasuk sebagai wajib pajak.
Selanjutnya masing-masing dari mereka atau tiap-tiap perseorangan tersebut melaksakan kewajiban perpajakan dengan cara yakni mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP, menghitung pajak penghasilannya, membayar PPh pasal 25/29 dari penghasilan yang belum atau kurang dipotong, meminta bukti potong pajak dan menyampaikan laporan SPT Tahunan PPh orang pribadi ke KPP (Kantor Pelayanan Pajak) dimana perorangan tersebut terdaftar.

Yayasan atau unit usaha milik gereja
Dari dana yang terhimpun, gereja bisa menggunakannya untuk memperluas cakupan pelayanannya kepada masyarakat dengan badan hukum yayasan.
Pengertian yayasan adalah badan hukum yang terdiri dari kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, kemanusiaan (Pasal 1 UU No. 16/2001 tentang Yayasan). Yayasan merupakan badan terpisah dari gereja sehingga menjadi WP (Wajib Pajak) tersendiri dan wajib ber-NPWP. Dengan demikian, yayasan wajib melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Kewajiban Perpajakan Yayasan
Yayasan mendaftarkan diri sebagai WP untuk mendapatkan NPWP, melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak apabila menyerahkan BKP/JKP, menyelenggarakan pembukuan, menghitung dan memperhitungkan pajak, memotong atau memungut pajak dari penghasilan atau obyek yang wajib dipotong atau dipungut, membayar dan menyetor pajak dan melaporkan SPT masa dan tahunan.

Lingkup objek pajak yayasan sesuai Pasal 4 ayat (1) UU PPh meliputi :
  1. penghasilan yang diterima atau diperoleh dari usaha, pekerjaan, kegiatan, atau jasa;
  2. bunga deposito, bunga obligasi, diskonto SBI dan bunga lainnya;
  3. sewa dan imbalan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
  4. keuntungan dari pengalihan harta, termasuk keuntungan pengalihan harta yang semula berasal dari bantuan, sumbangan atau hibah;
  5. pembagian keuntungan dari kerja sama usaha.
Penerimaan atau penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak
  1. (a.) bantuan atau sumbangan (dalam rangka CSR, pengembangan olahraga, promosi, infrastruktur, dan sumbangan fasilitas pendidikan); (b.) harta hibahan yang diterima oleh yayasan atau organisasi yang sejenis sebagai badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 604/KMK.04/1994 tanggal 21 Desember 1994; sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak yang memberi dengan pihak yang menerima. Apabila bantuan, sumbangan atau hibah tersebut berupa harta yang dapat disusutkan atau diamortisasi, harta tersebut harus dibukukan oleh pihak yang menerima sesuai dengan nilai sisa buku pihak yang memberikan.
  2. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh yayasan atau organisasi yang sejenis dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia.
  3. bantuan atau sumbangan dari Pemerintah.
Pengurangan penghasilan bruto
Untuk memperoleh penghasilan neto, yayasan atau organisasi yang sejenis diperkenankan mengurangkan :
  1. biaya-biaya yang berhubungan langsung dengan usaha, pekerjaan, kegiatan atau pemberian jasa untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau biaya yang berhubungan langsung dengan operasional penyelenggaraan yayasan atau organisasi yang sejenis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan dengan memperhatikan Pasal 9 ayat (1) UU PPh;
  2. penyusutan atau amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A UU PPh
  3. subsidi/bea siswa yang diberikan kepada siswa yang kurang mampu ataupun biaya pendidikan siswa yang kurang mampu yang dipikul oleh yayasan atau organisasi yang sejenis yang tidak bergerak di bidang pendidikan, biaya pelayanan kesehatan pasien yang kurang mampu yang dipikul oleh yayasan atau organisasi yang sejenis yang tidak bergerak di bidang pelayanan kesehatan.
Obyek Pajak dan Pengurangan Penghasilan Bruto Yayasan di Bidang Pendidikan, meliputi :


Obyek Pajak dan Pengurangan Penghasilan Bruto Yayasan di Bidang Kesehatan

Penghitungan Pajak Penghasilan Yayasan
Penghasilan Kena Pajak Yayasan dilaporkan dalam bentuk SPT Tahunan adalah gunggungan penghasilan (kecuali penghasilan yang dikenakan PPh Final) dikurangi dengan biaya yang hasilnya bisa berupa selisih lebih atau selisih negatif. Selisih lebih dikenakan PPh dengan tarif umum (Pasal 17 UU PPh). Bila menunjukkan selisih negatif, tidak terutang PPh. Khusus yayasan di bidang pendidikan, selisih lebih yang diinvestasikan kembali dalam waktu 4 tahun tidak dikenakan pajak penghasilan.

Dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan
Yayasan atau organisasi yang sejenis yang bergerak di bidang pendidikan formal mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi dapat mengakui dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan - yaitu dana yang akan digunakan untuk pembangunan gedung dan prasarana pendidikan yang berasal dari sisa lebih, yaitu selisih dari seluruh penerimaan yang merupakan obyek Pajak Penghasilan selain penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan tersendiri, dikurangi dengan pengeluaran untuk biaya operasional sehari-hari yayasan - sebagai penghasilan pada tahun pajak digunakannya, dan sebesar dana yang telah digunakan tersebut merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pada tahun pajak yang bersangkutan.
Dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan adalah dana yang akan digunakan untuk pembangunan gedung dan prasarana pendidikan yang berasal dari sisa lebih, yaitu selisih dari seluruh penerimaan yang merupakan obyek Pajak Penghasilan selain penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan tersendiri, dikurangi dengan pengeluaran untuk biaya operasional sehari-hari yayasan.
Pembangunan gedung dan prasarana pendidikan adalah pembangunan fisik sarana pendidikan seperti :
  1. pembelian tanah untuk pembangunan prasarana pendidikan;
  2. gedung sarana pendidikan;
  3. asrama mahasiswa;
  4. rumah dinas guru, dosen, atau karyawan;
  5. peralatan laboratorium, perpustakaan termasuk buku-buku;
  6. sarana olah raga;
  7. inventaris kantor.
Pelaksanaan ketentuan tersebut dilakukan sebagai berikut :
  1. sisa lebih yayasan setiap tahun yang akan digunakan untuk pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dialihkan ke rekening dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan;
  2. Pembukuan atas penggunaan dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan pada tahun berjalan dilakukan dengan mendebet rekening aktiva dan rekening dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan serta mengkredit rekening kas atau hutang dan rekening modal yayasan.
Yayasan memberitahukan rencana fisik sederhana dan rencana biaya pembangunan gedung dan prasarana pendidikan tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat dengan tindasan kepada Direktur Jenderal Pendidikan tinggi dan/atau Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah atau yang ditunjuk, dan dilampiri dengan pernyataan.
Dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan wajib digunakan untuk pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dalam jangka waktu 4 (empat) tahun setelah berakhirnya tahun pajak diterimanya dana tersebut.
Apabila pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dibiayai dengan dana pinjaman, maka bunga atas pinjaman tersebut dapat dibebankan sebagai biaya yayasan.
Apabila setelah lewat jangka waktu 4 (empat) tahun setelah berakhirnya tahun pajak diterimanya dana tersebut yayasan tidak menggunakan dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dimaksud, maka dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan tersebut diakui sebagai penghasilan dan dikenakan Pajak Penghasilan pada tahun pajak berikutnya setelah lewat jangka waktu 4 (empat) tahun tersebut.
Pengenaan Pajak Penghasilan atas dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan yang tidak digunakan setelah lewat jangka waktu di atas ditambah dengan sanksi sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.
Atas pengeluaran untuk pembangunan gedung dan prasarana pendidikan yang berasal dari dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan sebagaimana dimaksud di atas tidak boleh dilakukan penyusutan berdasarkan UU PPh.

Pembukuan dan SPT
Yayasan atau organisasi yang sejenis yang membentuk dana pembangunan gedung dan prasana pendidikan sebagaimana di atas wajib membuat :
  1. pencatatan tersendiri atas dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan yang diterima dan yang digunakan setiap tahun;
  2. pernyataan bahwa dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan yang tidak digunakan pada tahun diterimanya tersebut akan digunakan untuk pembangunan gedung dan prasarana pendidikan selambat-lambatnya 4 (empat) tahun setelah berakhirnya tahun Pajak yang bersangkutan.
  3. Laporan mengenai penyediaan dan penggunaan dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dan menyampaikannya kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat dalam lampiran Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Thank you, saya tambah wawasan

Anonim mengatakan...

terima kasih.. beri pencerahan

BigPict2 - Penyempitan Makna dlm Tugas yg Diemban Seksi Waskon

Waskon potensi tugasnya ya menggali potensi. Per definisi Current & Existing Risk, aktivitas ini dilakukan secara menyeluruh terhadap s...