Selasa, 22 Mei 2012

Penghitungan Kembali Pajak Masukan

Polemik Seputar Penghitungan Kembali Pajak Masukan

Pembaca yang cukup akrab dengan dunia PPN pasti sudah sering mendengar frase “penghitungan kembali Pajak Masukan”. Kalimat ini dalam prakteknya di lapangan akan bermuara pada nilai tertentu pajak masukan (PM) yang tidak boleh dikreditkan, atau jika sudah telanjur dikreditkan akan ditagih kembali. Ada beberapa kondisi yang diatur dalam UU PPN terbaru kita, yaitu UU No. 42/2009, yang akan bermuara ke sana, yang salah satu di antaranya adalah penghitungan kembali pajak masukan untuk Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan terutang PPN sekaligus tidak terutang PPN. Jika PKP dalam proses produksinya melakukan pembelian barang/jasa untuk menghasilkan barang/jasa lain termasuk yang tidak terutang PPN, maka proporsi tertentu PM atas pembelian barang/jasa yang dianggap terkait dengan barang jadi yang tidak terutang PPN tersebut tidak dapat dikreditkan.

Penyerahan yang tidak terutang PPN terdiri dari dua kategori (lihat di penjelasan Pasal 9 ayat (5) UU PPN) yang masing-masing diatur dalam pasal-pasal yang berbeda dalam UU PPN kita. Apa saja ? Yang pertama adalah penyerahan bukan barang atau jasa kena pajak (bukan BKP atau JKP). Jenis-jenisnya secara rinci diatur dalam pasal 4A ayat (1) UU PPN beserta penjelasannya. Rincian ini bersifat negative-list, jadi yang tidak termasuk dalam rincian berarti dikenakan PPN. Yang kedua adalah barang atau jasa yang dibebaskan dari pengenaan PPN yang diatur dalam pasal 16B UU PPN. Sebagai pengingat, di pasal 16B sebenarnya mengatur fasilitas PPN dalam bentuk PPN dibebaskan dan PPN tidak dipungut. Walaupun hasilnya sama, yaitu tidak ada unsur PPN dalam harga jual barang atau jasa, namun esensi kedua fitur ini berbeda.
PPN yang dibebaskan, seolah-olah pemerintah memaksa PKP untuk tidak membebankan PPN dengan alasan tertentu. Tidak ada utang PPN, sementara Pajak masukan yang telah dibayar oleh PKP tidak bisa dikreditkan. Pembaca akan bertanya, terus PM yang sudah dibayar itu dikemanakan? Ya otomatis akan menjadi tambahan expense atau dikapitalisasi, dan masuk dalam hitung-hitungan akuntansi biaya. PKP dalam hal ini dirugikan karena ada tambahan expense katakan sebesar 10% dari BKP/JKP yang masuk proses produksi, ceteris paribus dengan biaya-biaya yang lain, yang akan membuat Net Profit Margin (NPM) yang setelah rekonsiliasi fiskal katakanlah ekuivalen dengan Laba Sebelum Pajak, menjadi turun. Berita bagusnya, penurunan NPM tersebut membuat Pajak Penghasilan akan lebih kecil, atau terdapat penghematan pajak. Tinggal ditimbang-timbang saja komposisi yang optimal antara penambahan biaya dengan penghematan PPh yang didapat.

Sementara untuk PPN tidak dipungut, sebetulnya atas penyerahan barang atau jasa yang termasuk kategori ini (jenis-jenisnya diatur dengan PP) tetap terutang PPN tetapi tidak dipungut. Pajak masukan atas pembelian sarana untuk produksi barang atau jasa tersebut tetap dapat dikreditkan. Jika ada pembaca yang berpendapat bahwa perihal PPN dibebaskan atau tidak dipungut hanyalah permainan kata, yah mungkin ada perlunya Direktorat P2Humas kantor pusat berbagi ilmu mengenai filosofi berbagai fitur yang ada dalam UU PPN kita. Kembali ke persoalan utama mengenai pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan bilamana PKP melakukan penyerahan barang atau jasa yang terutang dan tidak terutang PPN, kita lihat pasal 9 UU PPN sebagai berikut :

Ayat (5) Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak. 


Ayat (6) Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

Kedua ayat di atas hanya berbeda dari cara penentuan jumlah pajak masukan yang dianggap terkait dengan penyerahan produk akhir yang tidak terutang PPN. Jika ada hitungan yang pasti, pajak masukan tersebut langsung menjadi tidak dapat dikreditkan. Jika tidak diketahui, harus menggunakan pedoman penghitungan. 

Kemudian PMK yang merupakan turunan dari pasal 9 ayat (6) di atas yaitu PMK-78/PMK.03/2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak Dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak menyatakan bahwa :

Pasal 2 
PKP yang melakukan kegiatan : 
1. usaha terpadu (integrated), terdiri dari :
                a. unit atau kegiatan yang melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak; dan
                b. unit atau kegiatan lain yang melakukan Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak. 
2. usaha yang atas penyerahannya terutang pajak dan yang tidak terutang pajak; 
3. usaha untuk menghasilkan, memperdagangkan barang, dan usaha jasa yang atas penyerahannya terutang pajak dan yang tidak terutang pajak; atau 
4. usaha yang atas penyerahannya sebagian terutang pajak dan sebagian lainnya tidak terutang pajak, 
sedangkan PM untuk Penyerahan yang Terutang Pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah PM yang dapat dikreditkan untuk Penyerahan yang Terutang Pajak dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan PM yang dapat dikreditkan. 


Lampiran 
Untuk PKP yang melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak sebagaimana tersebut di atas, perlakuan pengkreditan PM adalah sebagai berikut : 
a. PM atas perolehan BKP dan/atau JKP yang nyata-nyata hanya digunakan untuk kegiatan yang atas penyerahannya terutang PPN, dapat dikreditkan seluruhnya, seperti misalnya : 1) PM untuk perolehan mesin-mesin yang digunakan untuk memproduksi minyak jagung; 2) PM untuk perolehan alat-alat perkantoran yang hanya digunakan untuk kegiatan penyerahan jasa persewaan kantor. 
b. PM atas perolehan BKP dan/atau JKP yang nyata-nyata hanya digunakan untuk kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang PPN atau mendapatkan fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN, tidak dapat dikreditkan seluruhnya, seperti misalnya : 1) PM untuk pembelian traktor dan pupuk yang digunakan untuk perkebunan jagung, karena jagung bukan merupakan BKP yang atas penyerahannya tidak terutang PPN; 2) PM untuk pembelian truk yang digunakan untuk jasa angkutan umum, karena jasa angkutan umum bukan merupakan JKP yang atas penyerahannya tidak terutang PPN; 3) PM untuk pembelian bahan baku yang digunakan untuk membangun rumah sangat sederhana, karena atas penyerahan rumah sangat sederhana dibebaskan dari pengenaan PPN. 
c. Sedangkan PM atas perolehan BKP dan/atau JKP yang belum dapat dipastikan penggunaannya untuk penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak, pengkreditannya menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan sebagaimana diatur dalam PMK ini. Misalnya : 1) PM untuk perolehan truk yang digunakan baik untuk perkebunan jagung maupun untuk pabrik minyak jagung; 2) PM untuk perolehan komputer yang digunakan baik untuk kegiatan penyerahan jasa perhotelan maupun untuk kegiatan penyerahan jasa persewaan kantor. 

Dari sini saja sudah terlihat setidaknya dua persoalan, yang pertama adalah PMK tersebut ‘memperluas’ cakupan pasal 9 ayat (5) & (6) dari UU PPN yang secara implisit meliputi penyerahan produk akhir (saja) menjadi kegiatan-kegiatan yang penyerahan produk akhirnya terutang atau tidak terutang PPN. Yang paling terkena dampaknya adalah PKP yang melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated), misalnya PKP yang menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit (TBS bukan merupakan BKP), dan juga mempunyai pabrik CPO (CPO merupakan BKP). Produk akhir si PKP adalah CPO yang merupakan BKP. Dalam kondisi unit produsen TBS dari PKP tersebut hanya melakukan penyerahan ke unit produksi berikutnya dengan harga transfer internal, apa iya hal ini disamakan dengan PKP lain yang produk akhirnya adalah memang hanya TBS? Dan oleh karenanya pajak masukan atas semua pembelian sarana produksi yang berhubungan dengan produksi TBS ini tidak dapat dikreditkan? Walaupun hal ini bukan barang baru karena KMK sebelumnya juga membahas hal yang sama, namun dengan diberlakukannya PMK-78 ini akan membuka peluang bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan tersebut untuk mengajukan Judicial Review atas PMK tersebut ke Mahkamah Agung.

Masalah kedua adalah seputar aplikasi dari PMK-78 ini untuk menentukan proporsi PM yang tidak dapat dikreditkan. Hal ini berpotensi muncul karena dari contoh-contoh kasus yang dipaparkan dalam Lampiran PMK, semuanya menghitung dengan bantuan perbandingan antara produk akhir yang terutang PPN dan tidak terutang PPN. Lantas bagaimana dengan kasus PKP integrated di atas, di mana TBS yang dihasilkan hanya merupakan produk antara dan harga penyerahannya pun merupakan harga transfer internal? Apakah nilai transfer internal ini yang digunakan nantinya dalam proporsi produk akhir? Atau malah digunakan harga pembanding yang dalam teori transfer pricing harus di-adjust dulu dengan cukup njlimet?

Nah, semua itu tadi baru contoh dua persoalan dari sudut pandang Wajib Pajak dan teknis. Barangkali untuk memperoleh kesepakatan masih diperlukan kajian lebih jauh. Sebagai informasi, di akhir tahun 2011 telah terbit SE-90/PJ./2011 yang menyatakan bahwa perihal penghitungan PM yang tidak dapat dikreditkan di atas demi dijalankannya prinsip equal treatment (diatur dalam penjelasan pasal 16B ayat (1) UU PPN) baik untuk perusahaan kelapa sawit terpadu (integrated) maupun tidak terpadu (non-integrated). Selain itu, tanggal 16 desember 2011 telah diterbitkan Putusan MA atas permohonan uji materiil atas PMK-78 yang pada dasarnya MA menyatakan bahwa PMK-78 tidak merugikan Wajib Pajak pemohon uji.

Dengan bahasa sederhana, keadilan tidak perlu diartikan semua pihak mendapatkan jumlah yang mutlak sama, tetapi yang diterima tiap pihak hanya merupakan sesuatu yang relatif. Apalagi menyangkut penggunaan suatu pedoman penghitungan, norma, deemed rate, atau mekanisme lain dengan nama apa pun, semuanya hanyalah cara penyederhanaan masalah di dunia nyata agar lebih mudah untuk dipecahkan.

Tulisan ini hanya merupakan pendapat pribadi penulis.

BigPict2 - Penyempitan Makna dlm Tugas yg Diemban Seksi Waskon

Waskon potensi tugasnya ya menggali potensi. Per definisi Current & Existing Risk, aktivitas ini dilakukan secara menyeluruh terhadap s...